Makalah Pernikahan Agama Islam


MAKALAH PERNIKAHAN AGAMA ISLAM






“Pernikahan”
DISUSUN OLEH KELOMPOK II XII.IPS 4:

1.     Alfarhan Farel
2.     Fadhila Sildano
3.     Mila Dewi Ahmayanti
4.     Muh. Taufan
5.     Putri Yustikha Bahar
6.     Risya Amanda
7.     Suci Uswatun Hasanah
8.     Zulfadli

BAB I
PENDAHULUAN

*      Latar Belakang
Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”. Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia melakukan pernikahan.
Pernikahan merupakan sunah nabi Muhammad saw. Sunnah diartikan secara singkat adalah, mencontoh tindak laku nabi Muhammad saw. Perkawinan diisyaratkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah SWT, dan hal ini telah diisyaratkan dari sejak dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan di dalam al-Qur’an:
  
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. an-Nuur ayat 32).




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Definisi dan Dasar Hukum Nikah.
Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( النكاح ), adapula yang mengatakan perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj.[1][7]Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik akar katanya saja.[2][8] Perkawinan adalah ;
عبارة عن العقد المشهور المشتمل على الأركان والشروط
Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum atas rukun-rukun dan syarat-syarat.[3][9]
]
Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dari beberapa terminologi yang telah dikemukakan nampak jelas sekali terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi.
B.      Rukun Nikah
1.         WALI
Berdasarkan sabda Rasulullah Sallallahu `Alaihi Wasallam:

ايُّمَا امْرَأةِ نُكِحَتْ بِغَيْرِ اذِنِ وَلِيْهَا، فَنِكَحُهَا بَاطِلٌبَاطِلٌ
Artinya : “ Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal… batal.. batal.” (HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
2.         SAKSI
Rasulullah sallallahu `Alaihi Wasallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ الاَّ بِوَلِي وَ شَاهِدَيْ عَدْلِ
Artinya : “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”(HR Al-Baihaqi dan Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam Nailul Athaar berkata : “Hadist di kuatkandengan hadits-hadits lain.”)


3.         AKAD NIKAH
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
1.         Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
2.         Adanya Ijab Qabul.
3.         Adanya Mahar.
4.         Adanya Wali.
5.         Adanya Saksi-saksi.
Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.         Kedua belah pihak sudah tamyiz.
2.         Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qobul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab qobul.
Di dalam ijab qobul haruslah dipergunakan kata-kata yang dipahami oleh masing-masing pihak yang melakukan aqad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata kasar. Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul Muslim. “Ucapan ketika akad nikah seperti: Mempelai lelaki : “Nikahkanlah aku dengan putrimu yang bernama Fulaanah.” Wali wanita : “Aku nikahkan kamu dengan putriku yang bernama Fulaanah.” Mempelai lelaki : “Aku terima nikah putrimu.”


4.         MAHAR (MAS KAWIN)
Mahar adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita.Mahar juga merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh. Kita bebas menentukan bentuk dan jumlah mahar yang kita inginkan karena tidak ada batasan mahar dalam syari’at Islam,tetapi yang disunnahkan adalah mahar itu disesuaikan dengan kemampuan pihak calon suami. Namun Islam menganjurkan agar meringankan mahar. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).”(H.R. Al-Hakim: 2692)

C.     Khitbah ( peminangan )
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut.
*        Yang perlu diperhatikan oleh wali
Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:
1.         Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
فَسَادٌ عَرِيْضٌ إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَ

Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al- Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
2.         Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu.

D.     Hukum Menikah
Adapun hukum menikah, dalam pernikahan berlaku hukum taklifi yang lima yaitu :
1.         Wajib bagi orang yang sudah mampu nikah,sedangkan nafsunya telah mendesak untuk melakukan persetubuhan yang dikhawatirkan akan terjerumus dalam praktek perzinahan.
2.         Haram bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah lahir dan batin kepada calon istrinya,sedangkan nafsunya belum mendesak.
3.         Sunnah bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mempunyai kemampuan untuk nikah,tetapi ia masih dapat menahan diri dari berbuat haram.
4.         Makruh bagi orang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu member belanja calon istrinya.
5.         Mubah bagi orang tidak terdesak oleh alas an-alasan yang mewajibkan segera nikah atau karena alas an-alasan yang mengharamkan untuk nikah.
E.      Anjuran Islam
Islam telah menganjurkan kepada manusia untuk menikah. Dan ada banyak hikmah di balik anjuran tersebut. Antara lain adalah :
1.         Sunnah Para Nabi dan Rasul
2.         Bagian Dari Tanda Kekuasan Allah
3.         Salah Satu Jalan Untuk Menjadi Kaya
4.         Ibadah Dan Setengah Dari Agama
5.         Tidak Ada Pembujangan Dalam Islam
6.         Menikah Itu Ciri Khas Makhluk Hidup

F.       Tujuan Nikah
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini:
1.         Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
2.         Memperbanyak keturunan umat ini
3.         Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan pandangan istrinya dari yang haram.
G.     Hikmah Pernikahan
1.         Untuk menjaga kesinambungan generasi manusia.
2.         Menjaga kehormatan dengan cara menyalurkan kebutuhan biologis secara syar'i.
3.         Kerja sama suami-istri dalam mendidik dan merawat anak.
4.         Mengatur rumah tangga dalam kerjasama yang produktif dengan memperhatikan hak dan kewajiban.

H.     Pemikiran Tentang Pencatatan Perkawinan di Indonesia.
Undang-undang RI tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).
Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi:
1.         Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
2.         Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

I.         Nikah Siri
*             Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan:[5][1]
1.         Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri), dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
2.         Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara.

*             Faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya pernikahan sirri adalah:
1.         Nikah sirri dilakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh orang tua kedua pihak atau salah satu pihak.
2.         Nikah sirri dilakukan karena adanya hubungan terlarang.
3.         Nikah sirri dilakukan dengan dalih menghindari dosa karena zina.
4.         Nikah sirri dilakukan karena pasangan merasa belum siap secara materi dan secara sosial.
5.         Nikah sirri dilakukan karena pasangan memang tidak tahu dan tidak mau tahu prosedur hukum.
6.         Nikah sirri dilakukan hanya untuk penjajagan dan menghalalkan hubungan badan saja.

J.       Putusan MUI Tentang Nikah di Bawah Tangan.
Kewenangan MUI dalam berfatwa adalah tentang :
1.    Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional; dan
2.    Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain.

K.      Hak istri atas suami (yaitu hak istri yang harus dipenuhi oleh suami)
1)   Terkait kebendaan
Salah satunya adalah memberikan mahar. Karena mahar merupakan keadilan dan keagungan bagi para wanita. Harta suami adalah harta istri, harta istri adalah miliknya sendiri.
Kedua adalah memberikan belanja (nafkah)
Memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pakaian, pengobatan. Dan kadar nafkah yang harus diberikan kepada istri janganlah berlebihan. Berikan secara wajar.
2)   Hak bukan kebendaan (rohaniyah)
ü Pertama, mendapatkan pergaulan secara baik dan patut.
ü Kedua,Jangan sampai perbuatan dan perkataan suami menyakiti hati istrinya.
ü Ketiga, mendapatkan perlindungan dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh kesulitan dan mara bahaya.
ü Keempat, mendapatkan rasa tenang, kasih sayang, dan rasa cinta dari suaminya.
ü Kelima, mendapatkan pengajaran ilmu syariat dan akhlak.
ü Keenam, berlaku adil ketika melakukan poligami.

L.       Hak suami atas istri (Yaitu kewajiban yang HARUS dipenuhi istri kepada suaminya)
Hak suami yang wajib dipenuhi istri adalah hak yang sifatnya bukan benda, karena istri seharusnya tak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup dalam rumah tangga. Bahkan diutamakan istri tak bekerja mencari nafkah. Hal ini dimaksudkan agar istri dapat fokus membina keluarga. Menjadi perkecualian jika tulang rusuk telah menjadi tulang punggung keluarga, yang muncul seperti kasus TKW yang bekerja di luar negeri sedangkan suaminya “angon” di rumah, atau wanita sebagai single parent yang dicerai atau suaminya meninggal.
ü Pertama, menggauli suaminya secara layak sesuai dengan fitrahnya.
ü Kedua, memberikan rasa tenang dalam rumah tangganya.
ü Ketiga, taat dan patuh pada suami selama suami tidak menyuruhnya untuk melakukan perbuatan maksiat.
ü Keempat, menjaga dirinya dan harta suamninya bila suaminya tidak ada di rumah.
ü Kelima, menjauhkan sesuatu dari segala perbuatan yang tidak disukai suaminya. Termasuk di dalamnya adalah mengundang teman lelaki dan perempuan nya ke rumah selama suami tidak ada.
ü Keenam, menjauhkan dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak enak didengar.
ü Ketujuh, tidak keluar rumah tanpa seizin suami. Seiring teknologi yang semakin canggih izin lebih mudah dilakukan dengan mengirim sms, telepon dan media yang lain.

M.     Hak bersama suami istri
Telah dihalalkan bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya. Hanya saja dilarang untuk mendatangi istri di saat haid, nifas,  ihram, dzihar (menyamakan punggung istrinya seperti punggung ibunya sehingga tak ada keinginan untuk menggaulinya). Seorang suami yang mendzihar istrinya harus membayar kafarat (denda) dengan membebaskan 1 budak atau puasa selama 2 bulan berturut-turut jika ingin kembali pada istrinya.
1.      Pertama, hak untuk saling mendapatkan warisan
2.      Kedua, Hak untuk mendapatkan perwalian nasab anak
3.      Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21)
4.      Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-Nisa’: 19 – Al-Hujuraat: 10)
5.      Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
6.      Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)
7.      Sedangkan kewajiban yang harus dilakukan bersama dalam rumah tangga bagi suami istri adalah memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari pernikahan dan memelihara kehidupan pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rohmah.






























BAB III
PENUTUP

*             Keimpulan
Bagaimanapun aturan undang-undang perlu untuk diperhatikan manakala tidak ada satu hal yang mengharuskan untuk berpaling darinya. Sehingga dalam kondisi ikhtiyari(normal), pasangan suami isteri sebaiknya mengikuti segala aturan undang-undang. Tetapi ketika ada kebutuhan untuk melakukan pernikahan tanpa pencatatan, pernikahan ini boleh-boleh saja dilakukan. Dan memang, tidak ada cukup alasan fiqh untuk melarang apalagi mentidaksahkan pernikahan ini.[16][16]
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain.


















DAFTAR PUSTAKA


ý  Al-Jaziri, Abdurrahman. 1986.  Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr
ý  Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi’i. tanpa tahun. Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar. Semarang: Usaha Keluarga
ý  Djalil, Abdul 2000.  Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan. Yoyakarta: LKIS Yogyakarta
ý  Kamal, Mukhtar. 1974. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang
ý  Mubarok, Jaih. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press
ý  Redaksi Sinar Grafika. 2000. Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Untuk Anggota ABRI; Anggota POLRI; Pegawai Kejaksaan; Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: Sinar Grafika
ý  Shihab, Muhammad Quraish. 2010. 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui. Jakarta: Lentera Hati
ý  Sudarsono. 1997. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Rineka Cipta
ý  Fatwa Tarjih Hukum Nikah Sirri, Muktamar Muhammadiyah ke-35 disidangkan pada: Jum'at,8 Jumadil Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M
ý  MUI online, Keputusan Komisi B Ijtima MUI dalam http://halalguide.com
ý  Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com
ý  Situs Resmi Majelis Ulama Indonesia, http://www.mui.or.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Segmentasi, Targeting, Positioning (STP)

Makalah Teori Biaya Produksi

Makalah Komunikasi Bisnis