Makalah Khulafa Al Rasyidin


BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pada umumnya setiap penulisan ulang mengenai Sejarah Peradaban Islam pada masa-masa Khulafaur Rasyidin ataupun sejarah-sejarah lain adalah terbuka dan milik semua orang. Asalkan bisa memahami dan bisa mengaplikasikannya secara sistematis dan inofatif.
Tema besar penulisan makalah ini akan lebih banyak menelusuri mengenai akar-akar Sejarah Peradaban Islam pada masa Khulafaur Rasyidin. Karena nilai-nilai positif Sejarah Peradaban Khulafaur Rasyidin tidak lagi dijadikan teladan oleh orang-orang Islam.
Fenomena yang sangat menyedihkan, mayoritas orang-orang Islam saat ini lebih banyak mengadobsi budaya/peradaban orang-orang non muslim. semua itu merupakan cerminan bagi potret perkembangan di masing-masing kawasan Dunia Islam yang terus menerus menunjukkan dinamikanya.

RUMUSAN MASALAH
Secara garis besar pembuatan makalah kami ini akan membahas tentang:
1.      Pembentukan kekhalifahan dan sistemnya
2.      Kepemimpinan dan kontribusi di bidang peradaban

TUJUAN
1.      Mengetahui asal muasal pembentukan kekhalifahan dan system khulafa al rasyidin
2.      Mengetahui gaya kepemimpinan dan kontribusi di bidang peradaban




BAB II
PEMBAHASAN

PENGERTIAN AL-KHULAFA’UR ROSYIDUN
            Khulafaurrasyidun adalah pecahan dari kata Khulafa’ dan Al – Rasyidun, Kata Khulafa’ mengandung pengertian  : cerdik, pandai dan pengganti. Sedangkan kata Al – Rasyidun mengandung pengertian  : Lurus Benar dan Mendapat petunjuk. Artinya adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan Nabi Muhammad setelah ia wafat.[1]
            Secara istilah adalah “ Pengganti yang cerdik dan benar serta para pemimpin pengganti Rasulullah dalam urusan kehidupan kaum muslimin, yang sangat adil dan bijaksana, pandai dan cerdik, dan dalam menjalankan tugasnya senantiasa pada jalur yang benar serta senantiasa mendapatkan hidayah dari Allah SWT.
Mereka itu terdiri dari para sahabat nabi muhammad SAW yang berkualitas tinggi dan baik adapun sifat-sifat yang dimiliki Khulafaur Rasyidin sebagai berikut:
a.       Arif dan bijaksana
b.      Berilmu yang luas dan mendalam
c.       Berani bertindak
d.      Berkemauan yang keras
e.       Berwibawa
f.       Belas kasihan dan kasih sayang
g.      Berilmu agama yang amat luas serta melaksanakan hukum-hukum islam.
Para sahabat yang disebut Khulafaur Rasyidin terdiri dari empat orang khalifah yaitu:
1.         Abu bakar Shidik khalifah yang pertama (11 – 13 H = 632 – 634 M)
2.         Umar bin Khattab khalifah yang kedua (13 – 23 H = 634 – 644 M)
3.         Usman bin Affan khalifah yang ketiga (23 – 35 H = 644 – 656 M)
4.         Ali bin Abi Thalib khalifah yang keempat (35 – 40 H = 656 – 661 M)
            Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada kaum muslimin agar mereka mengangkat seorang khalifah setelah beliau SAW wafat, yang dibai'at dengan bai'at syar'iy untuk memerintahkan kaum muslimin berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Menegakkan syari'at Allah, dan berjihad bersama kaum muslimin melawan musuh-musuh Allah. Rasulullah SAW berwasiat kepada kaum muslimin, agar jangan sampai ada masa tanpa adanya khalifah (yang memimpin kaum muslimin). Jika hal ini terjadi, dengan tiadanya seorang khalifah, maka wajib bagi kaum muslimin berupaya mengangkat khalifah yang baru, meskipun hal itu berakibat pada kematian.

TERBENTUKNYA SISTEM KEKHALIFAHAN
            Dengan wafatnya Nabi maka berakhirlah situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spritual dan temporal[2] (duniawi) dan berdasarkan kenabian dan bersumberkan wahyu Ilahi. Dan situasi tersebut tidak akan terulang kembali, karena menurut kepercayaan Islam, Nabi Muhammad adalah nabi dan utusan Tuhan yang terakhir. Sementara itu, beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa diantara para sahabat yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin umat.
Kaum muslimin segera merasakan kekosongan kepemimpinan dan melihat dihadapan mereka terbentang masalah-masalah dan tanggung jawab yang besar akibat dari kekosongan itu. Oleh karena itu, mereka berusaha dengan segenap kemampuan untuk menanggung beban ini. Setiap individu dipaksa untuk berpikir, mengkaji, bagaimana menentukan keberlanjutan kepemimpinan negara pasca Nabi wafat. Maka sejak saat itulah muncul gagasan pertama kali dalam sejarah Islam yakni pertemuan Saqifah.[3] Diadakanlah pertemuan di Saqifah. Abubakar, Umar r.a., hadir dan beberapa orang sahabat dari kalangan muhajirin, namun beberapa tokoh besar tidak hadir dalam pertemuan itu, termasuk Ustman dan Ali, r.a., pertemuan itu mirip dengan pertemuan nasional atau muktamar luar biasa yang membicarakan nasib umat, meletakan institusi politik yang baru yang akan menjadi landasan operasional institusi tersebut.
            Hasil terbesar pertemuan itu adalah berdirinya institusi kekhalifahan, yang sejak saat itu menjadi model pemerintahan Islam, baik dalam bentuk yang sama maupun dalam bentuk yang sedikit berbeda. Materi yang dibahas dalam pertemuan Saqifah tersebut mengundang analisis dari seorang penulis Barat[4], ”pertemuan itu mengingatkan secara dekat kepada muktamar politik di era modern yang didalamnya berlangsung perdebatan-perdebatan politik yang menggunakan metode-metode perdebatan modern, perdebatan tersebut antara lain. Pertama, teori membela kalangan Ansor yang mengklaim diri mereka sebagai pihak yang berhak untuk memegang jabatan kekhalifahan, dengan berbagai dalil,”merekalah yang membela Islam, menjaganya dengan jiwa dan harta, memberikan tempat dan pertolongan dan merekalah penduduk asli madinah, klaim tersebut dinyatakan sebagai teori politik pertama yang timbul dalam sejarah pemikiran Islam.
Kedua, adalah bantahan atas teori pertama, pembelaan atas hak kaum muhajirin atas jabatan kekhalifahan dan membuktikan mereka lebih berhak atas jabatan kekhalifahan dibandingkan dengan yang lain—seperti diungkapkan Abu Bakar r.a., pihak yang pertama kali menyembah Allah SWT diatas permukaan bumi—kami adalah orang-orang kepercayaan Nabi dan keluarga beliau, dan yang bersabar bersama beliau dalam menerima penganiayaan yang keras dari kaumnya dan pendustaan mereka. Dalam retorika pembelaan atas hak kaum muhajirin itu, lahir pula untuk pertama kali pemikiran tentang keutamaan suku Quraisy;”para imam (pemimpin) dari kalangan Qurais”. Dan hal itu menjadi landasan teori pemilikan kaum Quraisy atas jabatan khalifah.[5]
Berkembang pula teori lain yang dikemukakan oleh Habbab bin Mundzir bin Jamuh, berupa kemungkinan pemecahan kepemimpinan atau adanya beberapa kepala negara sekaligus, misalnya dengan mengangkat dua khalifah sekaligus, yaitu saat masing-masing berkata ”dari kami ada pemimpin tersendiri dan dari kalian ada pemimpin tersendiri pula”. Akan tetapi dari sinilah lahir kesepakatan atau konsep yang amat penting yaitu sistim pemilihan kepala negara dilakukan dengan baiat, atau dengan kata lain pemilihan. Dan secara faktual tidak menerima pemilihan melalui metode pewarisan.[6]

SISTEM PERGANTIAN KEPALA NEGARA
            Peraturan tentang pemilihan kepala negara pada masa sahabat atau khulafaur-Rasyidin tidak dibahas di dalam nash, baik Al-Qur’an maupun al-Hadits. Oleh karena itu pemilihan kepala negara pada masa sahabat berdasarkan suara yang terbanyak, melalui lembaga ahlu halli wa ‘aqd yang terdiri dari sahabat yang terpandang, baik ditinjau dari kesholehannya maupun dari intelektualitasnya. Sedangkan kepala negara yang akan dipilih harus memiliki dan memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan dan menjadi standar pada masa itu. Setelah mereka sepakat siapa yang dipilih, maka selanjutnya diadakan Piagam bai’at yang harus dilaksanakan oleh kepala negara yang terpilih. Di bawah ini secara umum dipapar bagaimana proses pemilihan Kepala Negara.
a.       Ahlu al-Halli wa-al’Aqd
     Sekelompok orang yang memilih imam atau kepala negara disebut ahlul halli wal-agdi atau ahlul ikhiyar. Al- Qadhi Abu Ya’la telah menetapkan beberapa syarat kecakapan bagi ahlul halli wal ‘aqd. Pertama, syarat moral (akhlaq), yaitu keadilan, merupakan derajat keistiqamahan (dapat dipercaya dalam hal amanah dan kejujuran). Kedua, ilmu yang dapat mengantarkannya mengetahui dengan baik orang yang pantas menduduki jabatan imamah.
b.      Mayoritas dan Minoritas
     Inti dari pendapat Al-Qadhi Abu Ya’la adalah bahwa imamah, tidaklah terlaksana, kecuali bersama mayoritas ahlul halli wal’aqh. Diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hanibal “bahwa imam itu baru eksis kalau seluruh ahlu halli wa-al ’aqd mendukungnya” Kemudian ia berkata: Ini pada lahirnya terlaksana dengan persetujuan mereka.” Menurut Abu Ya’la, kepala negara yang dipilih harus berdasarkan dukungan dan persetujuan pendapat mayoritas dari anggota lembaga Ahlu al-Halli wa al-’Aqd.
c.       Bai’ah Bentuk Pemilihan
     Pembai’atan yang dilakukan terhadap Abu Bakar maupun Umar pada dasamya adalah pemilihan dan musyawarah. Mekanismenya adalah memilih salah seorang diantara 6 orang anggota panitia pemilihan khalifah yang diangkat oieh Umar. Proses pengangkatan khalifah, dapat berjalan berdasarkan bai’at yang dilakukan secara ridha dan bebas oleh umat. Dan bahwa penunjukkan oleh khalifah sebelumnya hanyalah bersifat pencalonan seseorang yang dianggapnya patut sebagai penggantinya. Jika umat menyetujui pencalonannya, maka mereka membai’at, tetapi jika tidak setuju, maka mereka punya hak untuk membai’at orang lain. Ketika selesai pemilihan mayoritas ahlul halli wal’aqdi terhadap kepada negara, tibalah sekarang pada tahap pembai’atan atau piagam perjanjian. Al-Qadhi Abu Ya’la menyebutkan bentuk piagam perjanjian ini. Orang yang membai’at mengatakan : “Kami membai’atmu dengan penuh kesungguhan. Kami senang engkau menegakkan keadilan dan memperlakukan kami secara adil dan menunaikan kewajiban-kewajiban keimanan” (Abu Ya’la dalam M. alMubarak, 1995 : 86-87)
PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM PADA MASA KHOLIFAH ABU BAKAR AS-SHIDDIQ (632-634 M)
            Permasalahan pertama yang muncul setelah Nabi Muhammad wafat adalah suksesi pengangkatan pemimpin. Sehari setelah rasul wafat, kaum ansar memprakarsai musyawarah besar di Saqifah Bani Sa’idah.[7] Mereka membicarakan siapa yang akan diangkat menjadi khalifah pengganti kekuasaan  Nabi. Sa’ad ibn ‘Ubaidah menyatakan bahwa ini adalah awal kelemahan yang akan membawa kepada perpecahan umat Islam.[8]
            Political questions surrounded the selection and eletion of Abu Bakar as caliph since that office was without precedent in arabia, and his tenure would begin to define it at a critical moment for the islamic polity, as muslims moved from god's rule under Muhammad to the appointment of his successors by mere mortals.[9]
            Yang artinya, pertanyaan politik dikelilingi pemilihan  Abu Bakar sebagai khalifah karena tanpa adanya preseden dalam negara, dan masa jabatannya akan mulai pada saat yang kritis bagi pemerintahan Islam, sebagai muslim pindah dari kekuasaan Tuhan di bawah Muhammad untuk penunjukan penerusnya oleh manusia belaka.
            Akhirnya Abu Bakar terpilih  menjadi khalifah menggantikan Rasulullah, Setelah terangkatnya menjadi kholifah, Abu Bakr menghadapi para pembangkang terdiri dari suku Arab yang enggan membayar zakat, nabi-nabi palsu dan orang-orang murtad. Dalam menghadapi kaum murtad dan pembangkang yang menolak membayar zakat Abu Bakr mengadakan musyawarah dengan para sahabat lainnya. Abu Bakr sangat menekankan musyawarah dalam memerangi orang-orang murtad (Perang Riddah).[10]
            Yang artinya, Abu Bakr mengirim pesan kepada Kholid bin Walid yang menjadi pemimpin dalam memerangi orang murtad, yang isi pesannya dia memerintahkan kepada Kholid untuk bermusyawarah kepada sebagian sahabat sebelum memutuskan suatu perkara, maka Allah akan memberikan keberkahan dari hasil musyawarahnya.selain itu menurut Abu Bakr Pembayaran zakat kepada pemerintah pusat (Madinah) merupakan simbol integrasi dan pengakuan suku Arab terhadap kekuasaan politik Islam.[11]
            Adapun unsur pemerintahan dinas kota Madinah khalifah Abu Bakar membagi wilayah kekuasaan hukum Negara Madinah menjadi beberapa propinsi. Dan tiap propinsi menugaskan seorang Amir atau waliuntuk memegang (setingkat jabatan gubernur), para amir di samping sebagai pemimpin agama, sebagai hakim dan pelaksanaan tugas kepolisian.[12]
            Praktek pemerintahan Khalifah Abu Bakar terpenting lainnya adalah mengenai suksesi kepemimpinan atas inisiatifnya sendiri dengan menunjuk Umar bin Khattab untuk menggantikannya.[13]
            Keputusan-keputusan yang dibuat oleh khalifah Abu Bakar untuk membentuk beberapa pasukan tersebut, dari segi tata negara, menunjukkan bahwa ia juga memegang jabatan panglima tertinggi tentara islam. Hal ini seperti juga berliku di zaman modern ini di mana seorang kepala negara atau presiden juga sekaligus sebagai pangima tertinggi angkatan bersenjata.
            Mengenai praktek pemerintahan Abu Bakar di bidang pranata social ekonomi adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan social rakyat.untuk kemaslahatan rakyat ini ia mengolah zakat, infak,sadaqoh yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah harta rampasan perang dan jizyah dari warga Negara non-muslim, sebagai sumber pendapatan baitul mal. Penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan Negara ini di bagikan untuk kesejahteraan tentara, bagi para pegawai Negara,dan kepada rakyat yang berhak menerima sesuai ketentuan al-quran.

PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM PADA MASA KHOLIFAH UMAR BIN KHATTAB (634-644 M )
            Pidato ‘Umar di hadapan umat Islam untuk menjelaskan visi politik dan arah kebijakan yang akan dilaksanakannya dalam memimpin kaum muslimin.
            “Aku telah dipilih menjadi khalifah. Kerendahatian Abu Bakr sejalan dengan jiwanya yang terbaik di antara kalian dan lebih kuat terhadap kalian serta juga lebih mampu memikul urusan-urusan kamu yang penting. Aku di angkat untuk menjadi khalifah tidak sama dengan beliau. Seandainya aku tahu ada orang yang lebih kuat unuk memikul jabatan ini dari padaku, maka aku lebih suka memilih memberikan leherku untuk dipenggali dari pada memikul jabatan ini”.
            Umar bin Khattab sangat tegas didalam memutuskan sesuatu dengan kejujuran, sebagaimana dijelaskan dalam buku In the Beginning : Hijacking of the religion of god.[14]
In Fact at one the "shura Council" gatherings the powerful and well revered caliph, Umar Ibn Khattab, was once told by certain members of the "shura Council", " By God if we find any dishonesty in you, we would straighten you out with our swords." these were the early islamic people and this was how they practiced the art of wisely exercising power and unafraid democracy through the islamic "shura" proces.
            Yang artinya, Dalam Fakta di "Dewan syura" pertemuan yang kuat dan baik yang dihadiri dandihormati khalifah, Umar bin Khattab, pernah diberitahu oleh anggota tertentu dari "Dewan syura", "Demi Allah jika kita menemukan ketidakjujuran dalam diri Anda, kami akan meluruskan Anda dengan pedangkami. "ini adalah orang-orang Islam awal dan ini adalah bagaimana mereka berlatih seni bijaksanamenggunakan kekuatan dan demokrasi.
            Begitu pula terasa pemilihan Umar bin Khattab hampir tidak menimbulkan perbedaan, mengingat pertimbangan-pertimbangan, yaitu bahwa untuk menghadapi sejubel persoalan umat Islam pasca Abu Bakar, maka dibutuhkan kepemimpinan seorang yang tegas dan berwibawa. Tak lain Umar lah orangnya.[15] Negara Islam Madinah mengalami masa kejayaannya pada masa khalifah kedua ini, sebagaimana dikatakan oleh Fahdi bin Abdullah.[16]
            Yang intinya, Catatan histories menorehkan bahwa Umar bin Khattab, panji-panji Islam kian berkibar bahkan dengan adanya perluasan ke wilayah-wilayah seperti juga dilakukan oleh Abu Bakar kekuatan Islam kian terasa. Di samping itu dari segi pemerintahan ada berbagai kebijakan Umar yang dinilai sangat brilian, salah satunya adalah desentralisasi administrasi Negara, untuk itu Muhammad Thair Azhary.[17] Menyatakan dalam bukunya bahwa Umar-lah khalifah Islam yang melakukan desentralisasi administrasi Negara. Sistem otonomi yang diterapkan ini tentunya juga menuntut perubahan sistem kinerja pemerintahan di wilayah-wilayah bagian, untuk itu tak jarang jika ditemukan terjadi semacam pengembangan struktur pemerintahan yang pada generasi sebelumnya tidak ditemukan.

PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM PADA MASA KHOLIFAH UTSMAN BIN AFFAN (23-35 H/ 644-656 M)
       Khalifah Ustman Bin Affan [18], Setelah Usman bin Affan dilantik menjadi, ia menyampaikan pidatonya yang menggambarkan dirinya sebagai sufi, dan citra pemerintahannya lebih bercorak agama ketimbang politik belaka sebagai dominan. Dalam pidato itu usman mengingatkan beberapa hal yang penting:
1.      agar umat islam berbuat baik sebagai bekal untuk hari kematian;
2.      agar umat islam terpedaya kemewahan hidup dunia yang penuh kepalsuan
3.      agar umat islam mau mengambil pelajaran dari masa lalu;
4.      sebagai khalifah ia akan melaksanakan perintah al-quran dan sunnah rasul;
5.      di samping ia akan meneruskan apa yang telah dilkukan pendahulunya juga akan membuat hal baru yag akan membawa kepada kebajikan
6.      umat islamboleh mengkririknya bila ia menyimpang dari ketentuan hokum

       Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan didaerah, khalifah usman mempercayakannya kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau propinsi pada masanya kekuasaan wilayah madinah dibagi menjadi 10 propinsi. Sedangkan kekuasaan legislative dipegang oleh Dewan Penasehat Syura, tempat khalifah mengadakan musyawarah dengan para sahabat terkemuka.
Prestsai tertinggi masa pemerintahan Usman sebagai hasil majlis syura adalah menyusun al-quran standar , yaitu penyeragaman bacaan dan tulisan al-quran,s eperti yang dikenal sekarang.naskah salinan al-quran tersebut disimpan dirumah istri nabi kemudian naskah salinannya atas persetujuan para sahabat dikirim ke beberapa daerah.
Di masa pemerintahan Utsman Radhiallahu ‘anhu (644-655 M), Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Bahkan Umar mengirim utusan ke Cina di tahun 651 M. sebagaimana dikutip dalam buku Islamic History.[19]
Usman may even have sent and emissary to china, by the end of the 7th century arab muslims were trading there. the fiscal strain of such expansion and the growing independence of arabs outside the peninsula underlay the persisting discontents that surfaced toward the end of the Utsman reign.

PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM PADA MASA KHOLIFAH ALI BIN ABI THOLIB (35-40 H/ 656-661 M)
       Setelah wafatnya khalifah Utsman, umat yang tidak punya pemimpin dengan wafatnya Utsman, membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah baru. Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah pendahulunya.ia di bai’at di tengah-tengah kematian usman, pertentangan dan kekacauan dan kebingungan umat islam Madinah. sebab kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali supaya bersedia dibaiat menjadi khalifah.
Dalam pidatonya khalifah Ali menggambarkan dan memerintahkan agar umat islam:
1.      Tetap berpegang teguh kepada al-quran dan sunnah rasul
2.      Taat dan bertaqwa kepada allah serta mengabdi kepada negara dan sesame
       manusia
3.      Saling memelihara kehormatan di antara sesame muslim dan umat lain
4.      Terpanggil untuk berbuat kebajikan bagi kepentingan umum,dan
5.      Taat dan patuh kepada pemerintah.
Ali bin Abi Tholib sangat mengistimewakan ro’yu atau pikiran untuk menyelesaikan persoalan.[20]
       Seperti  kasus pembunuhan seorang ahl al-dzimmah oleh seorang
Yang artinya, bahwa sayyidina Ali bin Abi tholib r.a, melakukan suma tindakan pada dewan syura dengan keistimewaa tanpa menggunakan ro’yu yang berlebihan dalam menyelesaikan berbagai urusan.
Muslim. Setelah terbukti bahwa si muslim bersalah, maka Ali bin Abi Thalib  tidak segan untuk menjatuhkan hukuman qishass kepada si muslim. Namun sebelum pelaksanaan eksekusi qishashterlaksana, pihak korban mengampuni kesalahan Muslim itu, maka setelah mempertimbangkan kemungkinan munculnya pemaafan itu, maka akhirnya memutuskan hukum diyat kepada si pembunuh
                  Tidak lama setelah dia di bai’at, Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Yang dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta). Dengan demikian masa pemerintahan Ali melalui masa-masa paling kritis karena pertentangan antar kelompok yang berpangkal dari pembunuhan Usman.namun Ameer Ali menyatakan:…ia berhasil memecat sebagian besar gubernur yang korupsi dan mengembalikan kebijaksanaan Umar pada setiap kesempatan yang memungkinkan.ia membenahi dan menyusun arsip Negara untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor sahib-ushsurtah,serta mengordinir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.
                  Kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Radhiallahu ‘anhu juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Sehingga terjadilah pertempuran yang dikenal dengan nama perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali Radhiallahu ‘anhu.

GAYA KEPEMIMPINAN KHULAFA AL RASYIDIN
Khulafaur Rasyidin terdiri dari empat sahabat Nabi Muhammad , mempunyai karakter yang berbeda-beda.
  • Kholifah Abi Bakar as Shidiq mempunyai karakter yang lemah lembut dan tegas. Dalam suasana yang kacau pemimpin yang berkarakter seperti Kholifah Abu Bakar as Shidiq sangat diperlukan. Dengan kelembutannya, dapat menginsafkan orang-orang terbujuk berbuat makar. Sementara orang-orang yang bersikap merongrong dihadapi secara tegas oleh Abu Bakar as Shidiq.
  • Kholifah Umar bin Khattab ,mempunyai karakter : Cerdas,tegas dan mengutamakan kepentinganrakyat. Kecerdasannya Umar bin Khattab sangat diperlukan untuk membangun dasar-dasar kemasyarakatan yang islami.
  • Usman bin Affan . Masa Usman bin Affan situasi sudah aman. Kemakmuran sudah tercapai di segenap lapisan masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, karakter pemimpin yang shaleh, penyantun dasabar sangat diperlukan. Dengan karakter seperti  Kholifah Usman bin Affan  kemakmuran rakyat tercapai, baik jasmani maupun rohani.
  • Ali bin Abi Thalib. Sebagai masa peralihan dari Kholifah Usman bin Affan ke Kholifah Ali bin Abi Thalib , kekacauan kembali terjadi. Dalam kondisi negara seperti itu, karakter pemimpin yang tegas dan mengutamakan kebenaran sangat diperlukan. Khalifah Ali bin Abi Thalib mempunyai karakter yang tepat. Ketegasan Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam membela kebenaran mirip dengan Khalifah Umar bin Khattab.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Khulafaurrasyidun adalah pecahan dari kata Khulafa’ dan Al – Rasyidun, Kata Khulafa’ mengandung pengertian  : cerdik, pandai dan pengganti. Sedangkan kata Al – Rasyidun mengandung pengertian  : Lurus Benar dan Mendapat petunjuk. Artinya adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan Nabi Muhammad setelah ia wafat.
            Kaum muslimin segera merasakan kekosongan kepemimpinan dan melihat dihadapan mereka terbentang masalah-masalah dan tanggung jawab yang besar akibat dari kekosongan itu. Oleh karena itu, mereka berusaha dengan segenap kemampuan untuk menanggung beban ini. Setiap individu dipaksa untuk berpikir, mengkaji, bagaimana menentukan keberlanjutan kepemimpinan negara pasca Nabi wafat. Maka sejak saat itulah muncul gagasan pertama kali dalam sejarah Islam yakni pertemuan Saqifah.[21] Diadakanlah pertemuan di Saqifah. Abubakar, Umar r.a., hadir dan beberapa orang sahabat dari kalangan muhajirin
SARAN
            Kami bersyukur dan bangga akan  perjuangan-perjuangan yang dilakukan para Khulafaur Rasyidin. Semoga kita dapan meniru hal hal positif yang bermanfaat dan belajar dari kesalahan masa lalu agar tak terjadi di masa kini.




[1] http://ar.wikipedia.org/wiki/الخلفاء الراشدين
[2] Istilah temporal (duniawi) Munawir Sadjali berbeda dengan Harun Nasution dengan istilah sekuler. Perbedaan dua istilah ini mencerminkan dua pendekatan yang berbeda dalam menyikapi keduniawian. Istilah temporal (duniawi) Munawir Sadjali berbeda dengan Harun Nasution dengan istilah sekuler. Perbedaan dua istilah ini mencerminkan dua pendekatan yang berbeda dalam menyikapi keduniawian.
[3] M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam (terjemahan), Gema Insani Press, 2001, hal 14
[4] lihat D.B. Mac Donald
[5] Ibid, hal 15. lihat juga Ath-Thabari, juz 3, hal 208
[6] Ibid, hal 15
[7] Tsaqifah Bani Saidah adalah balai pertemuan di madinah seperti Dar al nadwah di mekkah, balai pertemuan orang quraisy sudah kebiasaan kaum anshar berkumpul dib alai itu untuk mamusyawarahkan masalah-masalah umum, sebagaimana kebiasaan kaum quraiys berkumpul diDaar Al Nadwah, Lihat Muhammad Dhiya’ al-Din  al-Rayis, Op. Cit, h. 25
[8] Ibn Jarir al-Thabari,Tarikh al-Thabari,Juz IV(birut:Dar al-Fikr),hal 38.
[9] Gerhard Bowering, The Pinceton Encyclopedia of Islamic Political Thought, (Oxford: Princeton University press, 2013), hlm. 13.
[10] Fahdi bin Abdullah, Mukhtasor Atsaqofah As Siyasah, (Yordania, Dairoh Maktabah Wathoniyah, 2013), hal.14
[11] Masudul Hasan,History of Islam,( india, Adam Publlisher,1992), hal 144.
[12] Muhammad Dhiya’ al-Din al- Rayis, al-Nadzariyat as-Siyasah al-Islamiyah, (Mesir : Al-Ajlu, 1957), hal. 97-98
[13] Ibid, hal. 100-103
[14] Sami M. El-Soudani, In the Beginning : Hijacking of the religion of god,(USA: Library of congres, 2009), hlm.1004.
[15] im penyusun Texbook sejarah dan kebudayaan islam, Sejarah Dan Kebudayaan Islam,Departemen agama,Jakarta,1981/1982, h. 54
[16] Fahdi bin Abdullah, Mukhtasor Atsaqofah As Siyasah, (Yordania, Dairoh Maktabah Wathoniyah, 2013), hal.16
[17] Muhammad Thair Azhary, Negara Hukum; Suatu –Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya   Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Bandung : Angkasa,2003), hal. 42
[18] Nama lengkap khalifah ketiga ini adalah uthman bin Affan bin Abi al-‘As bin Umayyah bin  Abd Shams bin Abd Manaf bin Qusay.
[19] Laura S . Islamic History,  (New York : Britannica Educational Publishing, 2010), hlm.58
[20] Fahdi bin Abdullah, Mukhtasor Atsaqofah As Siyasah, (Yordania, Dairoh Maktabah Wathoniyah, 2013), hal.18
[21] M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam (terjemahan), Gema Insani Press, 2001, hal 14

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Segmentasi, Targeting, Positioning (STP)

Makalah Teori Biaya Produksi

Makalah Komunikasi Bisnis