Makalah Hadis Berdasar Kualitas Periwayat
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Hadits atau sunnah adalah sumber
ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Dimana keduanya merupakan pedoman
dan mengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia. Untuk Al-Qur’an semua
periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak
kebenaran beritanyasedangkan hadits nabi belum dapat dipertanggungjawabkan
periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak. Namun demikian hadis mempunyai
peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Al-Qur’an yang turun baik yang
bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga
hadits ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat
Islam dalam menguasai inti ajaran Islam. Dalam kondisi yang faktualnya terdapat
hadits-hadits yang dalam periwayatanya yang telah memenuhi syarat- syarat
tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadits atau yang dikenal dengan
hadits maqbul (diterima); shahih dan hasan. Namun disisi lain
periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal
dengan istilah hadis mardud(ditolak); dhaif atau bahkan ada yang
palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adnya upaya penelitian
kritik sanad maupun matan oleh para ulama
yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
RUMUSAN
MASALAH
a. Bagaimanakah
makna tentang hadis shahih dan hasan ?
b. Bagaimanakah
makna hadis Dha’if ?
c. Bagaimanakah
makna hadis Maudhu’?
TUJUAN
1. Untuk
mengetahui hadis hasan dan hadis shahih.
2. Untuk
mengetahui hadis dha’if.
3. Untuk
mengetahui hadis maudhu’.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Shahih dan Hasan
1. Definisi
a. Hadits
Shahih
Dalam bahasa kata
shahih ( الصّحِيْحُ )
diartikan orang sehat, antonim dari kata as-saqiim ( السًّقِيْمُ) = orang yang sakit. Jadi, yang
dimaksudkan hadits shahih adalah hadis yang sehat dan benar, tidak
terdapat penyakit dan cacat. Dalam istilah, hadis shahih adalah:
هُوَ ماَ ا تَّصَلَ سَنَدَ هُ
بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضاََّ بِطِ ضَبْطاً كاَ مِلاً عَنْ مِثْلِهِ وَ خَلاَ مِنَ
الشُّذُوْذِ وَالْعِلَّةِ
Hadis yang muttashil (bersambung)
sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhabith (kuat daya ingatan) sempurna
dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadzdz), dan cacat (‘illat).[1]
b. Hadits
Hasan
Dari segi bahasa, hasan berasal dari
kata al-husn ( الحُسْنُ )bermakna al-jamal ا لجَماَ لُ) ( =
keindahan. Dari segi istilah, para ulama memberikan definisi hadis hasan
secara beragam. Yang paling kuat yakni dikemukakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani
dalam An-Nukhbah, yaitu
وَخَبَرَالاحاَدِبِنَقْلِ عدلٍ تا
مِّ الضَّبْطِ مُتَّصِلِ السَّنَدِ غَيْرِمُعَلَّلٍ وَلاَ شاَذٍّ هُوَالصَّحِيْحُ
لِذَا تِهِ فَاءِنْ خَفَّ الضَّبْطُ فاَ لحَسَنُ لِذَا تِهِ
Khabar ahad yang diriwayatkan oleh
orang yang adil, sempurna ke-dhabith-annya, bersambung sanadnya, tidak
ber’illat, dan tidak ada syadzdz dinamakan shahih lidzatih. Jika kurang sedikit
ke-dhabith-annya disebut hasan lidzatih.
Dengan
kata lain, Hadits Hasan:
Adalah hadits yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang adil, kurang sedikit kedhabith-annya,
tidak ada keganjalan (syadzdz), dan tidak ada ‘illat.[2]
Hadis
Hasan adalah hadis yang tidak mencapai kualitas hadis sahih dan juga tidak
jatuh sampai pada status kualitas hadis da’if. Hal ini berarti bahwa hadis
hasan tidak jauh dari kualitas hadis sahih.
2. Syarat
a. Persambungan
sanad أِتَّصاَ لُ السَّنَدِ
Artinya, setiap perawi dalam sanadbertemu
dan menerima periwayatan dari perawi sebelumnya, baik secara
langsung atau secara hukum dari awal sanad sampai akhirnya.
1. Pertemuan
langsung (mubasyaroh), seseorang bertatap muka langsung dengan syaikh
yang menyampaikan periwayatan. Maka ia mendengar atau melihat apa yang
dilakukan. Umumnya menggunakan lambang ungkapan:
سَمِعْتُ: aku
mendengar
رَأَ يْتُ فُلاَ ناً: aku
melihat sifulan dll.
Jika
dalam periwayatan sand hadis menggunakan kalimat tersebut, atau sesamanya
berarti sanadnya muttashil (bersambung).
2. Pertemuan
secara hukum (hukmi), seseorang meriwayatkan hadis dari seseorang
yang hidup semasanya dengan ungkapan kata yang mungkin mendengar atau mungkin
melihat. Misalnya:
قاَ لَ فُلاَ نٌ, عَنْ فُلاَ نٍ, فَعَلَ فُلاَ ن: si Fulan berkata: ../dari siFulan/si
Fulan melakukan begini.
b. Keadilan
para perawi (‘Adalah Ar-Ruwah)
Pengertian adil dalam bahasa adalah
seimbang atau meletakkan sesuatu pada tempatnya, lawan dari zalim. Dalam
periwayatan adil adalah orang yang konsisten (istiqomah) dalam beragama, baik
akhlaknya, tidak fasik, dan tidak melakukan cacat maru’ah. Istiqomah dalam
beragama, artinya orang yang konsisten dalam beragama, melakukan seegala
perintah, dan menjauhkan segala dosa yang menyebabkan kefasikan. Muru’ah artinya,
menjaga kehormatan sebagai seorang perawi, menjalankan segala adab dan akhlak
yang terpuji dan menjauhi sifat-sifat yang tercela menurut imam umum dan
tradisi.
c. Para
perawi Bersifat Dhabith ( Dhabith
Ar-Ruwah)
Maksudnya, para perawi itu memiliki
daya ingat hafalan yang kuat dan sempurna. Sifat dhabith ini ada dua macam,
yaitu sebagai berikut:
1. Dhabith dalam
dada ( adh-dhabth fii ash-shudur), artinya memiliki daya ingat yang
kuat sejak menerima hadis sampai pada saat menyampaikannya kepada orang lain,
atau memiliki kemampuan menyampaikan kapan saja diperlukan kepada orang lain.
2. Dhabith dalam
tulisan ( adh-dhabth fii as-suthur), artinya tulisan hadisnya sejak
mendengar dari gurunya terpelihara dari perubahan, pergantian, dan kekurangan.
d. Tidak
Terjadi kejanggalan ( Syadzdz)
Syadzdz dalam bahasa berarti ganjil,
terasing, atau menyalahi aturan. Maksud syadzdz disini adalah
periwayatan orang tsiqoh (terpercaya, yaitu adil dan dhabith)
bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah. Contoh Syadzdz seperti
hadis riwayat Muslim dalam memberikan sifat-sifat wudhu’ Rasulullah:
اَنَّهُ مَسَحَ بِرَأْ سِهِ بِماَ
ءٍ غَيْرَ فَضْلِ يَدَهِ
“Bahwa
beliau menyapu kepalanya dengan air yang bukan kelebihan di tangannya.”
e. Tidak
Terjadi ‘illat atau cacat
Secara bahasa ‘illat berarti
penyakit, sebab, alasan, atau udzur. Namun disini “illat adalah suatu sebab
tersembunyi yang membuat cacat keabsahan suatu hadis padahal
lahirnya selamat daric cacat tersebut.[3]
3. Pembagian Hadits
a. Hadits Shahih
a.Hadis Shahih li
dzati
Maksudnya ialah syarat-syarat
lima tersebut benar-benar telah terbukti adanya,bukan dia itu terputus tetapi
shahih dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah dan khilaf bagi orang
kepercayaan.
b. Hadis Shahih Li
Ghoirihi
Maksudnya ialah hadis tersebut
tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut baik keseluruhan atau
sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi
orang yang banyak salah.
Hadis shahih
li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila
diriwayatkan melamui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau
yang lebih kuat dari padanya.
b.
Hadits Hasan
a. Hasan Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih adalah hadis yang telah
memenuhi persyaratan hadis hasan yang telah ditentukan. pengertian hadis
hasan li-dzatih sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
b. Hasan Li-Ghairih
Hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna.
dengan kata lain, hadis tersebut pada dasarnya adalah hadis dha’if,
akan tetapi karena adanya sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi’),
maka kedudukan hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi
hadis hasan li-ghairih.
4. Hukum
a. Hukum
Hadis Shahih
Tidak seluruh hadis yang shahih
dapat diamalkan, sebab sebelum mau mengamalkannya mesti melihat beberapa
undang-undang dan syarat-syaratnya. Di antara syarat mengamalkan hadis yang
shahih adalah sebagai berikut.
1) Tidak
didapati Hadits Shahih yang bertentangan dengan Hadits Shahih yang mau
diamalkan.
2) Kalau
terdapat hadits yang bertentangan dengannya, maka masalah ini menjadi beberapa
bagian :
· Jika
Hadits yang menentanginya Dha’if, maka diamalkanlah Hadits yang Shahih.
· Jika
Hadits yang menentanginya Shahih, maka dikumpulkan hukumnya jika boleh
dikumpulkan dan disatukan.
· Jika
tidak dapat dikumpulkan, maka perlu mengetahui mana yang datang terdahulu.
· Jika
tidak diketahui mana yang terdahulu, maka menggunakan cara penarjihan
(penguatan) hadis yang dilihat dari sanad, matan, dan lainnya.
· Jika
tidak mampu ditarjihkan, maka maka kedua hadis tersebut tidak dapat diamalkan.
· Apabila
salah satu Hadits memiliki makna umum, dan yang lain bermakna khusus, maka kita
mendahulukan yang khusus.
· Apabila
salah satunya Muthlak dan yang lainnya Muqayyad, maka didahulukan yang
muqayyad.
· Hadis
yang mau diamalkan tidak khusus bagi Rasul atau Rasul Khususkan kepada
seseorang.
Dari
keterangan di atas dapat dipahami bahwa hadis yang tidak memiliki pertentangan
dengan yang lainnya boleh kita amalkan dan berpegang tanpa mesti melihat
perubahan zaman.[4]
b. Hukum
Hadits Hasan
Hukum Hadits Hasan sama dengan
Hadits Shahih, yang membedakan antara keduanya yaitu hanyalah dari segi
kekuatannya.[5]
B. Hadis Dha’if
1. Definisi
Secara bahasa “dha’if”, berarti
lemah, lawan kata dari kuat. Secara istilah “dha’if” berarti
hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat. An-Nawawi mendefinisikan
hadis dha’if sebagai berikut.
ماَ لَمْ يُوْ جَدْ فِيْهِ شُرُوْ طُ ا لصِّحَّةِ وَ
لاَشُرُوْطُ اْحَسَنِ
“Hadis
yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat
hadis hasan.”
Menurut
Nur Ad-Din’atr, hadis dha’if adalah
ماَ فَقِدَ شَرْ طاً مِنْ شُرُوْطِ اْحَدِ يْثِ اْ لمَقْبُوْلِ
“Hadis
yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul (hadis yang
shahih atau hadis yang hasan).”
Dari definisi yang ketiga disebutkan
secara tegas bahwa jika salah satu syarat saja (dari persyaratan hadis shahih
atau hadis hasan hilang), berarti hadis itu dinyatakan sebagai hadis dha’if.
Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat, seperti
perawinya tidak adil, tidak dhabit, dan adanya kejanggalan dalam matan. Hadis
seperti ini dapat dinyatakan sebagai hadis dha’if.[6]
2. Macam-Macam
a. Dha’if dari
segi persambungan sanadnya.
1) Hadis Mursal
Hadis mursal ialah
hadis yang gugur sanadnya setelah tabi’in. yang dimaksud gugur di sini ialah
tidak disebutkannya nama sanad terakhir, padahal sahabat adalah orang yang
pertama menerima hadis dari Rasulullah. Al-Hakim merumuskan hadis mursal adalah
:
“Hadis
yang disandarkan (langsung)oleh tabi’in kepada Rasulullah saw; baik perkataan,
perbuatan, maupun taqrirnya tabi’in tersebut, baik termasuk tabi’in kecil
maupun tabi’in besar.”[7]
Berdasarkan definisi dari Al-Hakim
hadis mursal ada dua macam, yaitu mursal al-jali dan mursal
al-khafi. Mursal al-jali yaitu tidak disebutkannya
(gugurnya) nama sahabat tersebut dilakukan oleh tabi’in besar (senior),
sedangkan mursal al-khafi, yaitu gugurnya nama sahabat dilakukan
oleh tabi’in yang kecil (junior).[8]
2) Hadis Munqati’
Seorang ulama menyebutkan bahwa
hadis munqati’ adalah:
“Hadis
yang pada sanadnya terdapat seorang perawi yang gugur atau pada sanad tersebut
disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya.”
Dari berbagai pengertian diketahui
bahwa gugurnya perawi pada hadis munqati’ tidak terjadi pada thabaqah pertama (thabaqah
sahabat), tetapi pada thabaqat berikutnya : mungkin
pada thabaqat kedua atau ketiga atau keempat. Kemudian, yang
digugurkan itu terkadang seorang perawi, terkadang dua dengan tidak
berturut-turut.
3) Hadis Mu’dal
Hadis mu’dal adalah
hadis yang gugur dua orang perawinya atau lebih secar berturut-turut baik
gugurnya itu antara sahabat dengan tabi’in atau dua orang sebelumnya.
Hadis mu’dal berbeda dengan hadis munqati’. Pada
hadis mu’dal, gugurnya dua orang perawi, terjadi berturut-turut,
sedangkan pada hadis munqati’, terjadi secara terpisah (tidak
berturut-turut).
b. Dha’if dari
segi sanadnya
Para muhadditsin memasukkan
semua hadis yang mauquf dan yang maqtu’ ke
dalam hadis dha’if.
1) Hadis Mauquf
Hadis mauquf ialah
perkataan sahabat sahabat, perbuatan, atau taqrirnya. Dikatakan mauquf karena
sandarannya terhenti pada thabaqah sahabat. Kemudian, tidak
dikatakan marfu’ karena hadis ini tidak di-rafa-kan atau disandarkan kepada
Rasulullah saw.[9]
Ibnu
shalah membagi hadis mauquf kepada dua bagian, yaitu :
a) Mauquf
Al-Mausul
Mauquf
Al-Mausul berarti hadis
mauqufyang sanadnya bersambung.
b) Mauquf Ghair
Al-Mausul
Dilihat
dari segi persambungan, hadis ini dinilai sebagai hadis dha’if yang
lebih rendah daripada hadis mauquf al-mausul.[10]
2) Hadits Maqtu’
Hadis Maqtu’ ialah
hadis yang pada sanadnya terdapat seorang perawi yang gugur atau pada sanad
tersebut disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya.[11] Definisi lain menyebutkan
hadis maqtu’ ialah perkataan atau perbuatan yang berasal dari
seorang tabi’in yang di-mauquf-kan kepadanya, baik sanadnya bersambung atau
tidak.[12]
c. Dha’if dari
kecacatan matan dan rawi
1) Hadis Munkar
Hadis munkar ialah
hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lemah (perawi yang dha’if),
yang bertentangan dengan periwayatan orang kepercayaan.
Menurut
Al-Qasimi, hadis ini sama dengan hadis Al-Fard yang matannya
diriwayatkan oleh seorang rawi, yang kekuatan hafalannya sangat lemah dan
rendah dan juga sama dengan hadis Syadz karena keduanya
bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah atau
terpercaya. Adapun perbedaannya, kalau hadis Syadz diriwayatkan
oleh perawi yang tsiqah atau shaduq, sedangkan
hadis munkar oleh perawi yang lemah atau cacat.
2) Hadis Matruk
Hadis Matruk ialah
hadis yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadis yang
diriwayatkannya), atau tampak kefasikannya, baik pada perbuatan atau pada
perkataan, maupun orang yang banyak lupa atau ragu. Menurut para ulama,
hadis matruk dan hadis munkar adalah dua
macam hadis yang paling lemah setelah hadis maudhu’.
3) Hadis Syadz
Hadis Syadz ialah
hadis yang diriwayatkan orang yang maqbul, tetapi bertentangan
(matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.
Periwayatan
yang dilakukan melalui satu jalan sanad tidak dapat
dikatakan syadz meskipun sanad tersebut lemah. Periwayatan
dikatakan syadz apabila matannya ada yang kontradiksi dengan
dalil yang lebih kuat. Maka jika ada hadis yang diriwayatkan dengan dua atau
tiga jalan sanad, hadis yang diriwayatkan dengan satu jalan sanad
tersebut menjadi syadz.
4) Hadis Maqlub
Hadis maqlub ialah
hadis yang lafalnya tertukar pada salah seorang dari sanadnya atau nama
seseorang sanadnya. Kemudian menaklukkan penyebutnya yang seharusnya disebut
belakangan atau membelakangkan penyebut yang seharusnya didahulukan atau denga
sesuatu pada tempat yang lain. Tertukarnya hadis di sini, bisa jadi pada matan
hadis (maqbul fi al-matan) dan bisa pada sanad (maqbul fi as-sanad).
Kedua macam hadis maqbul ini tidak dibenarkan dalam periwayatannya
karena bisa jadi akan mengubah maksud atau makna hadis tersebut.
Hadis-hadis
yang dikategorikan sebagai hadis dha’if yaitu :
a) Hadis
Mudraj, yaitu hadis yang berisi tambahan-tambahan.
b) Hadis
Mubham, yaitu hadis yang pada matan dan sanad tidak disebutkan perawi
dengan jelas.
c) Hadis
Mu’allal, yaitu hadis yang cacat.
d) Hadis
Mudhaaf, yaitu hadis yang tidak terkumpul tanda ke-dha’if-annya,
tetapi sebagian ulama menganggap lemah pada matan atau sanad.[13]
3. Hukum
a. Tidak
boleh secara mutlak, baik dalam masalah hukum, aqidah, targhib wa tarhib, dan
selainnya. Pendapat ini dipegang oleh sebagian besar ulama hadis.
b. Boleh,
dalam bab fadhoil al-a’mal, dan targhib wa tarhib. Namun tidak diamalkan dalam
masalah akidah dan hukum. Pendapat ini dipegang oleh sebagian ahli fiqh dan
ahli hadis.
c. Boleh
mengamalkan secara mutlak, dalam masalah fiqh, aqidah, dan selainnya, jika
dalam masalah itu tidak didapatkan hadis shahih ataupun hasan. Pendapat ini
dinisbatkan kepada Imam Ahmad dan muridnya, Abu Daud.[14]
C. Hadis Maudhu’
1. Definisi
Al-maudhu’ adalah isim maf’ul dari
kata wadha’a, yadha’u, wadh’an, artinya meletakkan,
mengada-ada, membuat-buat, dan meninggalkan.[15]
Menurut
istilah, hadis maudhu’ adalah hadis yang dicipta serta dibuat
oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dibangsakan kepada Rasulullah saw.
secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja ataupun tidak.[16]
Dari
pengertian di atas dapat dikatakan bahwa hadis maudhu’ bukan
hadis yang bersumber dari Rasulullah saw. atau bukan merupakan hadis Rasul,
paling tidak sebagian, namun hadis tersebut disandarkan kepada Rasul.
2. Sebab
Munculnya
Secara historis pemalsuan hadis
tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam, tetapi juga dilakukan oleh
orang-orang non Islam. Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadis
palsu, antara lain sebagai berikut.
a. Pertentangan
Politik.
Perpecahan umat Islam akibat
pertentangan politik yang terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
sangat berpengaruh terhadap kemunculan hadis-hadis palsu. Tiap-tiap golongan
berusaha mengalahkan lawan. Dan mempengaruhi orang-orang tertentu, salah satunya
adalah membuat hadis palsu. Akibat perpecahan politik ini, golongan Syi’ah
membuat hadis palsu. Golongan inilah yang pertama kali membuat hadis palsu.
b. Usaha
Kaum Zindiq
Kaum zindiq adalah golongan yang
membenci Islam, baik sebagai agama maupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka
merasa tidak mungkin dapat melampiaskan kebencian melalui konfrontasi dan
pemalsuan Al-Quran sehingga menggunakan cara yang paling tepat dan
memungkinkan, yaitu melakukan pemalsuan hadis untuk menghancurkan agama Islam
dari dalam.
c. Sikap
Fanatik Buta terhadap Bangsa, Suku, Bahasa, Negeri, dan Pimpinan.
Salah satu tujuan membuat hadis
palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik buta serta ingin menonjolkan
seseorang, bangsa, kelomok, dan sebagainya. Golongan Ash-Syu’biyah yang fanatik
terhadap bahasa persi mengatakan, “Apabila Allah murka, Dia menurunkan wahyu
dengan Bahasa Arab dan apabila senang, Dia menurunkannya dalam Bahasa Persi.”
Golongan
yang fanatik membuat hadis palsu, seperti “Pada kemudian hari aka nada seorang
umatku Muhammad bin Idris. Ia akan menimbulkan mudarat kepada umatku daripada
iblis.”
d. Mempengaruhi
Kaum Awam dengan Kuliah dan Nasihat.
Kelompok yang melakukan pemalsuan
hadis bertujuan untuk memperoleh simpati dari pendengarnya sehingga mereka
kagum melihat kemampuannya. Hadis yang mereka katakana terlalu
berlebih-lebihan.
e. Perselisihan
dalam Fiqh dan Ilmu Kalam.
Munculnya hadis-hadis palsu dalam
masalah-masalah fiqh dan ilmu kalam berasal dari para pengikut
mazhab. Mereka melakukan pemalsuan hadis karena didorong sifat fanatik dan
ingin menguatkan mazhabnya masing-masing.
f. Membangkitkan
Gairah Beribadah, Tanpa Mengerti yang Dilakukan.
Banyak di antara ulama yang membuat
hadis palsu dengan asumsi bahwa usahanya merupakan upaya mendekatkan diri
kepada Allah dan menjunjung tinggi agama-Nya. Mereka mengatakan, “Kami berdosa
semata-mata untuk menjunjung tinggi nama Rasulullah dan buka sebaliknya.”
g. Menjilat
Penguasa.
Giyas bin Ibrahim merupakan tokoh
yang banyak ditulis dalam kitab hadis sebagai pemalsu hadis tentang
“perlombaan.” Matan asli sabda Rasulullah SAW. :
لاَ سَبَقَ اِلاََّفيِ نَصْلٍ اَوْ خُفٍّ
Kemudian, Giyas menambahkan kata “aw
junahin” akhir hadis agar diberi hadiah atau mendapat simpatik dari
khalifah Al-Mahdi. Setelah itu Al-Mahdi memberikan hadiah 10.000 dirham, namun
ketika giyas hendak pergi, Al-Mahdi menegur seraya berkata, “Aku yakin itu
sebenarnya merupakan dusta atas nama Rasulullah saw.” Menyadari hal itu,
khalifah memerintahkan untuk menyembelih merpatinya.[17] Pada dasarnya, tujuan mereka
membuat hadis palsu tidak selamanya negatif karena ada yang sengaja membuatnya
agar ibadahnya lebih khusyuk dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Akan
tetapi, apapun alasannya, pembuatan hadis palsu merupakan dosa besar.
3. Hukum
Hukum meriwayatkan Hadits Maudhu’
adalah haram. Baik dari orang yang mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun,
kecuali disertai dengan penjelasan akan kemaudhu’annya. Nabi bersabda :
“Barang
siapa yang menceritakan Hadits dari sedang dia mengetahui bahwa itu dusta, maka
dia termasuk para pendusta.” (H.R. Muslim).[18]
4. Ciri-ciri
Para
ulama hadits menentukan beberapa ciri-ciri untuk mengetahui ke maudlu-an
sebuah hadits, diantarannya :
1. adanya
pengakuan si pembuat hadits maudlu itu sendiri, pernah seorang ulama menanyakan
suatu hadits kepada perawinya dan perawi tersebut mengakui bahwa ia memang
menciptakan hadits tersebut untuk suatu keperluan.
2. Adanya
indikasi yang memperkuat, misalnya seorang rawi mengaku menerima satu hadits
dari seorang tokoh, padahal ia belum pernah bertemu dengan tokoh tersebut, atau
tokoh tersebut sudah meninggal sebelum perawi itu lahir.
3. Adanya
indikasi dari sisi tingkah laku sang perawi, misalnya diketahui bahwa ada
tingkah laku yang menyimpang dari diri sang perawi.
4. Adanya
pertentang makna hadits dengan Alquran, atau dengan hadits mutawatir, atau
dengan ijma’atau dengan akal sehat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari sini dapat kita ketahui bahwa
hadis ditinjau dari kualitas perawinya yaitu ada hadis shahih, hadis hasan,
hadis dha’if, dan hadis maudhu’. Hadis shahih adalah hadis yang paling shahih
diantara hadis-hadis tersebut karena kualitas perawinya hadis ini paling kuat
diantara yang lainnya. Dan hadis yang paling lemah diantara hadis diatas adalah
hadis maudhu’ karena hadis ini merupakan hasil mengada-ada atau membuat hadis
yang palsu, mempercayainya pun hukumnya haram seperti yang telah disabdakan
oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya sebagimana yang diriwayatkan oleh
H.R.Muslim.
Saran
Dalam proses pembuatan makalah ini
penulis masih mempunyai banyak kekurangan dan kesalahan disana-sini, untuk itu
saran dan kritik dari pembaca sangat penulis butuhkan agar dalam pembuatan
kedepannya bisa lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Asse,
Ambo. 2016. ILMU HADIS PENGANTAR MEMAHAMI HADIS NABI SAW. Makassar. Alauddin
Press Makassar
https://onetspawn.wordpress.com/2010/04/18/pengertian-ciri-ciri-kehujahan-hadist-shahih-hasan-dhaif/
Komentar
Posting Komentar